Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kidung Cinta Terlarang


Kidung Cinta Terlarang





Keindahan alam kala senja di pantai, memang  sangat menakjubkan.  Saat posisi matahari condong di sebelah barat dan banyak  menghamburkanan sinar yang berwarna jingga cenderung kemerahan.  Di saat itulah pemandangan paling indah tercipta, di mana langit berwarna merah dan air laut berubah keemasan karena tertimpa cahaya matahari yang akan tenggelam. Menyaksikan ini, membuat kita semakin sadar begitu besar keagungan-Nya

Hampir satu jam, aku duduk di bangku ini menikmati senja. Memandang ombak yang saling berkejaran tapi akhirnya tercerai-berai saat mencapai pantai. Menikmati lembutnya hembusan angin diakhir musim panas, yang telah membuat kusut rambutku.  Sambil tak lupa mengamati burung-burung yang terbang pulang ke sarang setelah seharian menjelajah angkasa. Dan besok mereka akan mengulanginya, berangkat saat matahari terbit dan kembali saat matahari tenggelam.

Saat pandanganku beredar mengamati seluruh pantai, dari kejauhan nampak sesosok tubuh berlari kecil mendekatiku. Dia masih memakai baju  kerja, lengkap dengan tas rangsel yang tergantung dipundak. Ketika rambutnya yang lurus tersibak oleh hembusan angin pantai, terlihat sesosok wajah yang sangat aku kenal.

“Sudah lama?” sapamu saat tiba dihadapanku.

“Lumayan.”

Aku memang sengaja datang satu jam lebih cepat dari waktu yang kita janjikan. Karena ingin mereplay kembali semua kenangan tentang pantai ini. Tentang pasir yang selalu setia mengukir jejak kita, walau akhirnya tapak kaki itu akan hilang tersapu air. Dan juga tentang air laut, angin dan semua yang ada di pantai ini.

Saat kau duduk  disampingku, terlihat jelas raut wajahmu yang tenang namun tegas. Senyummupun tak kalah manis, sehingga menambah point dirimu. Dengan segala apa yang kamu miliki sekarang, sangat mudah untuk mendapatkan teman gadis bahkan pendamping hidup.

“Kak, kita harus akhiri hubungan ini.”

“Kenapa? Bosan atau punya gebetan baru?” kamu berbicara tanpa menoleh sedikitpun.

Selalu tuduhan itu yang dilemparkan kepadaku, bila kita membicarakan masalah ini. Padahal kamu tahu betapa berartinya dirimu dalam hidupku.

Bagaimana mungkin aku terbang meninggalkanmu

Sementara sayap-sayapkupun telah kau patahkan

Bagaimana mungkin ku berlari darimu

Jika hatikupun telah kau penjarakan

Sebenarnya sudah sering,  kita mencoba  berpisah dan mengakhiri hubungan ini. Tetapi itu hanya bertahan beberapa hari, paling lama satu minggu. Akhirnya kita kembali merajut hubungan terlarang ini. Meski sampai sekarang kita masih bisa menjaga jarak dari hal nista, tapi terus terang aku takut, suatu saat kita akan terjebak di dalamnya.

“Dik, maafkan aku karena mencintaimu,”

“Kak, tidak ada yang salah dengan cinta...”

Cinta tidak pernah salah, ia anugerah yang terindah dari-Nya untuk seluruh umat manusia. Mungkin hadirnya saja yang tidak tepat. Hubungan ini  tidak akan penah ada, kalau aku tidak menerima cinta yang kau tawarkan. Kita yang salah bukan cinta.

“Izinkan aku menghapus mendung diwajahmu.” pintamu lagi

Leo Herliyanto, itu kata-kata yang kamu ucapkan satu tahun lalu,  kala senja di pantai ini. Dan kini kau ulangi lagi di tempat dan waktu yang sama. Waktu itu kamu sudah bekerja selama lima tahun di sebuah pabrik mobil di Okinawa, Jepang. Sementara aku, baru beberapa bulan bekerja di sebuah rumah sakit di kota ini. Aku yang terbiasa dengan segala perlindungan dan kemudahan begitu shock dengan kehidupan luar negeri yang egois dan serba cepat. Layaknya anak ayam yang terlepas dari induknya, bingung kepada siapa meminta perlidungan. Dan kamu datang menawarkannnya padaku.

Keputusanku bekerja di luar negeri mungkin memang sebuah pelarian. Waktu itu  kondisi rumah tanggaku sedang carut marut. Saat pihak Depnaker mengumumkan lowongan kerja ke Jepang, dengan tanpa pertimbangan panjang, aku putuskan mendaftarkan  diri. Padahal waktu itu aku sudah menjalani  PTT di Puskesmas selama beberapa tahun.

 “Lelaki bodoh yang membiarkan wanita sepertimu bekerja di luar negeri.”

Itu perkataanmu dan semua orang yang mengenalku, baik yang baru kenal maupun teman lama. Tapi tidak bagi  satu orang yaitu suamiku. Orang yang seharusnya mengasihi dan melindungiku, malah membiarkanku bekerja di negara orang.

“Kenapa tidak kau putuskan pernikahanmu?” ucapmu kemudian.

“Masalahnya tidak semudah itu.”

“Anak!! Aku akan menganggapnya sebagai anakku sendiri.”

Bukan hanya masalah anak tapi juga saudara, teman dan juga lingkungan. Pernikahan telah menjalinnya menjadi tali silahturahmi. Apabila terjadi perceraian maka rusaklah tali silahturahmi tersebut. Dan yang paling menderita adalah anak. Selamanya ia akan luka dan menanggung beban mental bahwa orang tuanya bercerai.

“Kak, carilah perempuan lain yang lebih pantas mendampingimu,” pintaku kemudian.

“Aku bisa saja mencari sepuluh gadis, tapi tidak akan pernah ku temukan wanita selembut kamu.” Sambil kamu gengam erat tanganku.


“Aku mencintaimu dari lubuk hatiku,” kau teruskan ucapanmu sambil menatap lekat mataku.

Tidak sepatah katapun yang bisa kuucapkan. Ingin rasanya berteriak dan mengatakan bahwa aku juga mengalami hal yang sama. Tapi lidah ini begitu kelu untuk berucap. Kamulah yang telah membuat aku seperti sekarang ini. Bangkit dari keterpurukan dan bisa kembali semangat menyongsong kehidupan.

“Tapi hubungan kita tidak akan pernah ada ujungnya.”

“Ada,” jawabmu dengan cepat

“Segeralah mengajukan gugatan terhadap suamimu. Toh ia tidak pernah menafkahimu dan anak kalian,”ucapmu kemudian.

Kulepas gengaman tangannya dan berajak berdiri, kemudian berjalan kearah air laut. Meski begitu pelik kondisi rumah tanggaku, tapi tidak akan pernah kuajukan gugatan perceraian. Aku masih mau mencium aroma surga, meski perceraian dihalalkan oleh agama tetapi perbuatan ini paling dibenci oleh-Nya. Sebab ada sebuah hadist yang menyatakan mengharamkan wangi surga bagi wanita yang meminta cerai dari suaminya.

Dalam diam kamu berjalan mengikutiku. Selanjutnya kita berdiri menghadap lautan lepas. Sementara itu air laut dengan senang mengelitiki kaki-kaki kita, seolah mengajak kita untuk bercanda dengan mereka. Karena hal itu yang biasa kita lakukan kala di pantai.

“Prosesnya tidak mudah dan lama,” ucapku lagi.

“Maksudmu?”

Keluarga pihak suamiku tidak mungkin melepaskanku dengan begitu saja. Dengan berbagai alasan, mereka akan menghalangi perceraian itu. Lagipula aku tidak mau menambah beban pikiran kedua orang tuaku. Mereka akan menanggung malu atas perbuatanku.

“Lepaskan aku, biarkan aku meneruskan kehidupan tanpa hadirmu atau lelaki manapun.” Ucapku dengan nada gementar, karena begitu berat untuk mengucapkan kata itu.

“Menikahlah dengan perempuan lain tapi jangan kau pilih aku,” lanjutku kemudian.

“Dik, mintalah apa saja, aku akan memenuhinya, tapi jangan kau pinta aku melepaskamu.” Sambil kau rengkuh tubuhku dalam dekapanmu.

“Kamu adalah anugerah bagiku,” ucapmu kemudian.

Memang dari sekian wanita yang pernah mengisi hari-harimu. Aku yang paling pendiam, yang tidak pernah membantah apalagi menyakitimu. Sementara yang lain selalu menuntut ini dan itu sehingga kamu begitu jengkel dengan sikap mereka.

Mendengar ucapannya aku tak sanggup menahan lelehan air yang sedari tadi tertahan disudut mata ini. Buliran bening ini akhirnya jatuh juga, mengalir membasahi pipi. Semakin lama semakin deras dan membasahi bajumu. Akhirnya aku terduduk di pasir pantai sambil menagis tersedu-sedu.

“Kak, aku begitu sangat  mencintaimu.” dengan lirih aku berkata.

“Tapi maaf, aku tak mampu berjuang untuk  cinta itu,’’ ucapku lagi.

Kamupun akhirnya terduduk lemas disampingku. Sambil meremas pasir yang basah sebagai pelampiasan untuk meredam emosi.

“Apapun keputusanmu, aku terima. Asal kau bisa bahagia,” sambil kau usap airmataku.

“Kalau kamu kembali kesuamimu, silahkan, aku ikhlas. Tapi aku tidak pernah rela bila kau dimiliki orang lain. Selagi belum menikah, aku akan menerimamu, bagaimanapun keadanmu, ’’ dengan tajam pandanganmu kau arahkan tepat dimanik mataku.

Dan kitapun diam cukup lama. Sampai akhirnya kau tarik tanganku untuk berdiri dan berjalan menyusuri pantai. Saat matahari benar-benar tenggelam, kamu berkata,”Dik, biarkan waktu yang menjawab cerita kita. Sekarang kita pulang, tapi cari makan dulu, aku lapar banget nih.”

Sementara aku hanya tersenyum dan mengiyakan saja. Dan mengikuti langkah-langkah lebarmu. Karena memang tidak ada lagi yang perlu dikatakan.

Selesai makan di sebuah restoran fastfood, kamu mengantarkanku ke tempat kos.  Saat di depan pintu masuk, kamu berkata,” Mimpi indah ya.”

Setelah itu kamu melangkah pergi, meninggal seulas senyuman indah. Mungkin senyuman itu, terakhir yang  aku lihat.

“Beberapa hari ini aku lebur jadi tidak usah bertemu ya,” teriakku, takut kamu tidak mendengar.

Kamu hanya menjawab dengan jempol dua tangan saja yang artinya setuju.

***

Pagi-pagi segera kukemasi barang-barang pentingku, sementara yang lain terpaksa kutinggalkan. Satu bulan lalu nenek yang selama ini kurawat dirumah sakit akan diambil oleh anaknya yang berada di Amerika Serikat. Dan aku diminta untuk merawatnya. Pada awalnya sempat bimbang juga, pindah negara berarti harus penyesuaian lagi. Tapi menginggat masalah pelik yang aku hadapi, akhirnya aku menerima tawaran itu.

Aku tulis sebuah surat untuk Mas Leo, supaya ia tidak mencari keberadaanku.

Assalammu’alaikum wr. wb

Kak, saat kau baca surat ini. Aku sudah beberapa hari menikmati udara di negaranya Barrack Obama. Maaf bila aku tidak membicarakan masalah ini sebelumnya. Selama kita masih satu negara , kita tidak akan pernah bisa berpisah. Keputusan ini teramat sangat berat buatku. Tapi ini yang terbaik diantara kita. Aku tidak ingin menyakiti siapapun. Baik itu kamu, suami ataupun keluargaku. Biar aku yang mengalah asal mereka semua bisa bahagia. Semoga kelak kita bertemu dalam suasana yang lebih baik.

Wassalammu’alaikum wr wb.

Kulipat kertas itu dan segera kumasukkan kedalam amplop. Kemudian kutitipkan kepada Ani teman satu kamarku, untuk diberikan kepada Mas Leo minggu depan.

Aku segera bergegas menarik koper, menuju taxi yang akan mengantarku ke bandara. Dengat sekuat tenaga aku menahan air mata, supaya tidak menetes. Ini keputusan terbaik buat semua orang. Dengan seulas senyum aku siap menyambut masa depan. Demi sebuah amanah yang telah di berikan-Nya. Tidak akan pernah ada kata menyerah.


********END*******

4 komentar untuk "Kidung Cinta Terlarang"